Sabtu, 27 Februari 2010

Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya di Indonesia


Kebijakan Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya di Indonesia: Studi Peran Pemerintah Provinsi Lampung dalam Melindungi Seni Tapis Lampung

Fathoni, S.H.

Latar Belakang

Negara Indonesia dibangun di atas cita-cita yang sangat luhur, yaitu demi mencapai masyarakat adil dan makmur. Cita-cita ini secara akademis diistilahkan dengan tujuan negara. Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) dengan tegas menyatakan dianutnya paham negara kesejahteraan dalam penyelenggaraan negara sebagai negara hukum yang demokratis.1 Paham negara kesejahteraan ini memberikan alasan yang kuat bagi negara untuk berperan secara lebih luas guna mewujudkan kemakmuran rakyatnya.

Peran pemerintah dalam pengertian ini telah membuka pintu bagi masuknya campur tangan negara dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini merupakan pergeseran dari konsep terbatasnya peran keterlibatan negara dalam kehidupan sosial rakyat menuju konsep dimana negara berperan aktif dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Negara tidak lagi hanya berperan sebagaimana diistilahkan Immanuel Kant dengan Nachtwakestaat (penjaga malam), namun bergeser menjadi negara kesejahteraan (welfare state).

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Menurut Bentham, dalam konsep ini, negara harus menjamin terselenggaranya pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya.2
Konsep negara kesejahteraan yang dianut Indonesia secara eksplisit terlihat dari tujuan Negara Indonesia yang tercermin pada Alinea IV Pembukaan UUDNRI 1945. Pencantuman tujuan negara ini tentu bukanlah tanpa maksud, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya dengan potensi hayati dan non hayati sebagai modal pembangunan yang harus dimanfaatka demi mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Interaksi antara SDA dan SDM ini pada akhirnya melahirkan beraneka ragam pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya yang penting bagi khasanah kekayaan bangsa.

Pengakuan terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) sebenarnya telah diakomodir dalam Pasal 27.3(b) TRIPS Agreement, yaitu sepanjang yang berkenaan dengan hal-hal yang dapat dipatenkan maupun tidak, baik berupa penemuan (invensi) tanaman maupun hewan, serta perlindungan varietas tanaman.3 Pada Paragraf 19 Deklarasi Doha Tahun 2001 telah diperluas cakupan pembahasan tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa Dewan TRIPS juga harus memperhatikan hubungan antara Perjanjian TRIPS (TRIPS Agreement) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Folklor (The Relationship Between TRIPS And The Convention On Biological Diversity; And The Protection Of Traditional Knowledge And Folklore).

Pembahasan tentang perlunya perlindungan (protection) bagi pengetahuan tradisional (tradisional knowledge / TK) telah menjadi isu penting dalam pertemuan-pertemuan Dewan HKI (Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) di WTO. Adanya perdebatan panjang ini lebih banyak berkenaan dengan perlu-tidaknya perlindungan TK diatur tersendiri (sui generis) atau dimasukkan ke dalam perundang-undangan HKI masing negara anggota. Telah terjadi tarik-ulur kepentingan antara negara maju (developed country) dan negara berkembang (developing country) dalam hal perlindungan terhadap pengetahuan tradisionalnya (traditional knowledge).

Tarik ulur kepentingan yang terjadi ini merupakan konsekuensi adanya globalisasi ekonomi dengan motor liberalisasi perdagangan dan keuangan yang tidak selalu memberikan keuntungan bagi semua orang (dan bangsa) di bumi ini.4 Konsep globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, dengan demikian, memerlukan perlindungan. Globalisasi bukanlah suatu gerakan yang harus ditahan dan dibendung, tapi sebaliknya, memerlukan nalar logis untuk menjauhkannya dari efek buruk bagi keadilan. Perjanjian TRIPS yang telah berlaku bagi bagi negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—tidak serta-merta dapat memacu inovasi yang lebih besar di negara-negara berkembang. Banyak prasyarat inovasi, seperti pendidikan dan penguasaan teknologi, belum dikuasai oleh negara-negara berkembang. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa TRIPS telah mendorong pengalihan teknologi dari negara industri ke negara berkembang. Kenyataan diatas tentu bukan alasan untuk menentang sistem HKI, namun harus dimanfaatkan sebagai ruang untuk meningkatkan daya saing negara berkembang untuk memajukan HKI yang lahir dari pengetahuan tradisionalnya yang harus terlindungi.

Opini tentang “efek buruk bagi keadilan” ini berkembang dari adanya pandangan kaum neoliberal5 yang berpendapat bahwa hanya pelaku swasta yang dapat menikmati HKI.6 Dengan demikian, kepemilikan HKI harus dimiliki secara individual, baik orang pribadi maupun perusahaan. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa bila HKI mereka tidak dilindungi, maka kegiatan inovasi, investasi dan pengembangan teknologi akan terhambat karena tidak adanya kesempatan memperoleh keuntungan finansial yang lahir dari adanya hak tersebut. Pandangan di atas sepertinya menafikan kemungkinan “keuntungan sosial” dapat menjadi pendorong inovasi, bahkan pemerintah bisa saja memiliki HKI tertentu.

Ada banyak kasus dimana gagasan dan kreatifitas dikembangkan tanpa memikirkan keuntungan finansial (ekonomi) semata. Dalam hal ini, perlu juga dipertimbangkan ide tentang perlunya HKI yang berorientasi pada kepemilikan publik atau komunal. Indonesia adalah salah satu negara yang telah mengakomodir tentang hak komunal dalam sistem HKI nasionalnya, yaitu pada undang-undang tentang hak cipta.

Pengakuan terhadap HKI komunal ini menjadi perlu, mengingat regim HKI yang lahir dari perdagangan bebas ini tentu tidak akan jauh dari prinsip-prinsip perdagangan bebas yang menuntut persamaan. Semua pihak dianggap sebagai "gladiator" yang harus mampu bertahan dalam pertarungan. Prinsip survival for the fittest. Mereka yang terkuat lah yang akan bertahan. Negara miskin dan berkembang akan menjadi "bulan-bulanan" negara maju yang sudah mapan konsep HKI-nya.7 Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman etnik dan budaya yang pada akhirnya melahirkan cita rasa seni yang mewujud pada berbagai produk budaya harus dilindungi kepentingannya.
Wujud kreatifitas "Orang Indonesia" yang diwarnai keberagaman etnik, lingkungan, topografi dan religiusitas telah dikenal lama, bahkan sampai mancanegara. Produk hasil kreatifitas ini termasuk pula pada pengetahuan tradisional yang lestari karena diajarkan turun-temurun sampai dengan saat ini.8 Ekspresi dari pengetahuan tradisional (traditional knowledge) hampir dapat berkaitan dengan berbagai jenis aspek hak kekayaan intelektual (HKI). Pengetahuan tradisional yang dimiliki Indonesia berpotensi menjadi suatu kekayaan kebendaan ketika telah termanifestasi dalam bentuk produk yang memiliki desain yang khas. Dalam persepektif hukum kekayaan intelektual, potensi ini merupakan hak yang bersifat kebendaan karena telah merupakan wujud HKI.

Pesatnya keterkaitan dan perluasan ruang lingkup HKI membawa akibat juga terhadap semakin tergalinya potensi HKI berupa pengetahuan tradisional (traditional knowledge).9 Keterkaitan pengetahuan tradisional dengan bidang-bidang lain seperti kehutanan, pertanian, kesehatan, dan sosial budaya berkonsekuensi terhadap pentingnya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional itu sendiri. Ruang lingkup cakupan pengetahuan tradisional meliputi bidang budaya berupa folklor akan berkenaan dengan hak cipta. Bidang teknis medis, industri, pertanian akan berkenaan dengan desain industri, sedangkan bidang desain seperti kerajinan tangan akan berkenaan dengan desain industri. Selain itu ada juga pengetahuan tradisional yang berkenaan dengan indikasi geografis dan indikasi asal.

Kesemua aspek yang berkenaan dengan pengetahuan tradisional tersebut secara langsung juga meliputi aspek HKI, termasuk di dalamnya akses terhadap sumber daya alam, pengawasan terhadap pengetahuan atau kebudayaan, serta pemanfataan sumber daya alam dan pengaturannya secara mandiri.10 Bila dikaitkan dengan HKI, maka pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia perlu dilindungi. Adapun beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apakah pengetahuan tradisional perlu dilindungi? Mengapa harus dilindungi? Siapakah pemiliknya? Negara atau komunitas tertentu sajakah? Bagaimana pengaturannya di Indonesia?

Sederet pertanyaan di atas secara normatif dapat saja dijawab dengan melihat aturannya dalam sistem HKI nasional dan mengaitkannya dengan perjanjian-perjanjian dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi. Hanya saja, jawaban semacam itu hanya akan menunjukkan pola pikir yang linier terhadap hukum, seolah dengan peraturan perundang-undangan yang ada semua permasalahan dapat diselesaikan. Bentuk perlindungan hukum terhadap potensi HKI pengetahuan tradisional tentu menjadi penting untuk melihat arah perlindungan HKI di masa yang akan datang. Perlindungan ini menjadi penting, mengingat regim HKI dibangun di atas landasan ekonomi pasar bebas yang sangat berpotensi mengabaikan prinsip keadilan ekonomi.

Sistem ekonomi pasar bebas yang terlalu percaya bahwa semua sistem perekonomian dapat dengan sendirinya karena bekerjanya “invisible hands” (tangan-tangan tak terlihat) dalam hukum permintaan dan penawaran ternyata tidak bisa berjalan dengan mulus. Kenyataan ini berkonsekuensi pada perlunya campur tangan negara dalam mengatur perekonomian rakyat. Di sinilah kemudian peran negara menjadi penting dalam sistem perekonomian agar negara berdaulat di bidang ekonomi. Hal ini dapat dikaitkan dengan sosialisme kerakyatan yang menekankan pentingnya kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan, sehingga memperlihatkan kepedulian dan keberpihakan negara terhadap rakyat.11

Peran negara (dalam hal ini pemerintah) menjadi penting, karena dewasa ini hubungan ekonomi dan perdagangan telah mengalami pergeseran. Perdagangan internasional dewasa ini tidak hanya melibatkan subjek hukum perusahaan-perusahaan swasta (individu), namun juga melibatkan pemerintah sebagai subjeknya.12 Negara yang menjalankan fungsi sebagai pengatur (regulator) juga harus memainkan peran pentingnya sebagai penyedia (provider). Negara dalam hal ini pemerintah harus menjadi penyeimbang (balancer) bagi berbagai kepentingan masyarakat.

Berjalannya fungsi yang demikian dalam dunia ekonomi, khususnya yang berkenaan dengan keberadaan HKI pengetahuan tradisional, akan membawa konsekuensi pada "keadilan ekonomi" dan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip inilah yang menjadi landasan politik hukum perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya hal-hal yang berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap HKI pengetahuan tradisional. Indonesia memang merupakan negara yang kaya akan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisionalnya. Sebagai salah satu indikatornya adalah bahwa sejak Tahun 2005 hingga pertengahan 2009, Dirjen HaKI telah mencatat setidaknya 2.058 kebudayaan tradisional. Kebudayaan ini tersebar di 15 daerah, antara lain Jawa Tengah sebanyak 575 daftar, Jawa Barat sebanyak 213 daftar, Jawa Timur sebanyak 201 daftar, DIY sebanyak 96 daftar, Lampung, sebanyak 65 daftar, Riau sebanyak 39 daftar, Sulawesi Selatan sebanyak 37 daftar, NTT sebanyak 11 daftar, Sumatera Barat sebanyak 8 daftar, Sulawesi Tengah sebanyak 8 daftar, Bengkulu sebanyak 7 daftar, NTB sebanyak 7 daftar.13

Potensi yang sangat besar ini merupakan wujud pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya yang masih harus dilindungi oleh negara (dalam hal ini pemerintah). Sampai dengan saat ini, perhatian pemerintah terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya masih sebatas pada proses pencatatan, meskipun upaya pelestariannya tetap berlangsung.14 Padahal, dalam era perdagangan bebas saat ini diperlukan perlindungan yang mapan terhadap potensi yang berasal dari pengetahuan tradisional. Potensi-potensi tersebut harus diadministrasikan (dicatat) agar jelas kepemilikan pengetahuan tradisional oleh masing-masing negara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya berupa folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Dalam aturan ini tidak nampak jelas tentang subjek pemegang hak ciptanya. Kewenangan, prosedur dan substansi yang mengatur tentang “pemegangan hak” ini belum diatur secara eksplisit. Pasal 10 ayat (3) undang-undang ini mengatur bahwa mekanisme izin untuk mengumumkan atau memper-banyak ciptaan tersebut diserahkan kepada instansi15 yang terkait dalam masalah tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dalam peraturan pelaksana, namun peratuan pemerintah sebagai turunan undang-undang ini belum terbit.

Penjelasan Pasal 10 ayat (3) undang-undang hak cipta mengatur bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Potensi pengetahuan tradisional tentu tidak hanya terbatas pada lingkup hak cipta saja, namun juga bisa melingkupi paten, merek, desain industri, perlindungan varietas tanaman dan rahasia dagang. Oleh karena itu, sistem HKI yang telah ada dipandang belum cukup untuk melindungi pengetahuan tradisional di Indonesia.

Konsep pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan tradisional sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai “pemilik” pengetahuan tradisional, sehingga pemerintah daerah—baik provinsi maupun kabupaten/kota memegang tugas dan fungsi penting dalam perlindungannya. Penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep otonomi daerah mempertegas tugas dan fungsi pemerintahan yang dibagi kewenangannya antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini diperinci pembagian kewenangannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Peraturan perundang-undangan tentang otonomi daerah memang tidak secara langsung memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara pemerintah daerah dengan sistem HKI Nasional. Penyelenggaraan sistem HKI itu sendiri diatur Berdasarkan Keputusan Presiden No. 189/1998 penyelenggaraan sistem HKI dipercayakan kepada Departemen Kehakiman dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan visi mengembangkan sistem HKI yang efektif dan kompetitif secara internasional dalam menopang pembangunan nasional.16 Penyelenggaraan sistem HKI dalam konteks otonomi daerah diberikan secara delegatif oleh Departemen Kehakiman17 yang mencakup beberapa kewenangan dalam kaitan dengan pendaftaran HaKI, dengan tujuan pokok untuk memudahkan masyarakat mendapatkan hak atas karya intelektual mereka. Dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M-09-PR.07.06 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal HaKI No. H-08-PR.07.10 tahun 2000 pendaftaran hak cipta, merek dan paten dapat dilakukan melalui Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM.

Penyelenggaraan semacam ini berusaha mendekatkan pelayanan pendaftaran HKI di daerah sesuai dengan Visi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Inteletual yai “Terciptanya sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang efektif dan efisien dalam menopang pembangunan nasional”. Visi ini diselenggarakan dengan Misi, yaitu mengelola sistem HKI dengan cara: Memberikan perlindungan, penghargaan dan pengakuan atas kreatifitas; Mempromosikan teknologi, investasi yang berbasis ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi; dan Merangsang pertumbuhan karya dan budaya yang inovatif dan inventif.18

Sejalan dengan ketiga misi di atas, harus ada sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam memberi perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Provinsi Lampung yang merupakan provinsi yang dihuni oleh multi etnis dan mempunyai akar budaya yang kuat, memiliki corak budaya yang khas. Ekspresi budaya seperti lagu-lagu daerah, tarian, sastra dan kesenian tapis tetap lestari sampai sekarang. Selain itu, arsitektur rumah adat Lampung “Sesat Agung” (Nuwo Balak) dan Siger Lampung mempunyai nilai estetika tersendiri. Tradisi ini dilestarikan secara turun-temurun. Salah satu ekspresi budaya yang berasal dari Provinsi Lampung yang berupa produk (tangible form) adalah Tapis19 Lampung yang dikenakan dalam acara adat “begawi” dalam tarian “cangget” dan “sembah”.20

Negara Hukum

Konsep negara hukum ini telah dirintis sejak kemerdekaan negara dan terus dibangun sampai sekarang. Hal ini disebabkan kebutuhan untuk hidup dalam suasana ketertiban yang melahirkan konsep negara hukum (rule of law). Rule of law ini memuat banyak kandungan persoalan, mulai dari bagaimana membuat hukum, sampai pada bagaimana menghindari dan melepaskan diri dari jerat hukum.21

Indonesia sebagai negara hukum tentu mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan dalam sistem hukumnya. Hal ini tentu saja tidak menafikan hukum yang hidup di masyarakat sebagai living law. Indonesia sebagai salah satu subjek dalam hukum internasional tentu terikat juga dengan hukum-hukum yang telah berlaku berdasarkan perjanjian internasional dalam konvensi-konvensi yang telah diratifikasi.22

Pemahaman tentang Pengetahuan Tradisional

Pemahaman tentang pengetahuan tradisional diperlukan sebagai pengantar dalam pembahasan tentang perlindungan pengetahuan tradisional itu sendiri. Masih terdapat banyak perbedaan dalam pendefinisian pengetahuan tradisional dalam perbincangan internasional. Edi Sedyawati sebagaimana dikutip oleh Adrian Sutedi menulis bahwa walaupun kata “pengetahuan tradisional” sering diperbedakan dengan folklore (kesenian atau kebudayaan rakyat), namun dalam pelajaran ilmu sosial atau budaya, keduanya dianggap sebagai sinonim.24
WIPO25 (World Intellectual Property Organization) memberikan definisi tentang pengetahuan tradisional sebagai tradition based literary, artistic or scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names, and symbols, undisclosed information, and, all other tradition-based innovation and creations resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields.26 Definisi WIPO tentang pengetahuan tradisional lebih menekankan pada basis tradisi yang menghasilkan karya dari aktivitas intelektual.
Meskipun pengertian yang diberikan berbeda-beda, namun esensi pengetahuan tradisional itu sendiri tetap satu, yaitu bahwa ia harus dilindungi dengan instrumen hukum. Karakter perlindungan yang tepat, tentu bisa digali dari pemahaman tentang pengetahuan tradisional yang telah disepakati. Henry Soelistyo, sebagaimana dikutip Muhammad Djumhana mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang status dan kegunaannya atau penggunaannya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat”27

Definisi lain diajukan oleh UNESCO yang mendefinisikan pengetahuan tradisional secara lebih luas, namun hanya melihat dari sisi kebudayaan semata:
“The traditional knowledge and expressions of indigenous cultures are defined as the ways in which indigenous cultures are expressed and which are manifestations of worldwide of the indigenous peoples of the pacific. Traditional knowledge and cultural expressions are any knowledge or any creation created, acquired and inspired (applied, inherent, or abstract) for the physical and spiritual well-being of the indigenous peoples of the pacific. The nature and use of such knowledge and expressions are transmitted from one generation to the next to enhance, safeguard and perpetuate the identity, well-being and right of the indigenous of the pacific.”28
Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) memang terlalu luas dan tidak dapat serta-merta dikaitkan dengan HKI. Pengetahuan tradisio-nal menjadi pembahasan yang sering dikaitkan dengan HKI karena konsep HKI dikembangkan dari gagasan negara maju untuk melindungi potensi ekonomi yang lahir dari intelektualitasnya, sedangkan tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern di dunia ini merupakan transformasi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri.29

Bidang-bidang yang mencakup lingkup kekayaan intelektual yang bersifat komunal yaitu folklor yang merupakan ekspresi budaya tradisional, desain industri yang mewujud pada produk budaya, sumber days genetik, indikasi geografis, dan indikasi asal. Folklor mencakup musik tradisional, narasi dan literatur tradisional, seni tradisional, kerajinan tradisional, simbol/nama/istilah tradisional, pertunjukkan tradisional, seni arsitektur tradisional, dan lain-lain. Pengetahuan tradisional dapat termasuk juga desain industri yang berkenaan dengan produksi kerajinan tangan yang bercirikan budaya tradisional.

Pemahaman yang lebih praktis dan operasional tentang pengetahuan tradisional ini adalah definisi yang diajukan oleh Kementrian Ristek dan Teknologi, yaitu:
“Pengetahuan tradisional adalah seluruh bentuk pengetahuan, inovasi dan kegiatan budaya dari masyarakat asli (Indigenous Community) maupun masyarakat lokal yang meliputi cara hidup dan teknologi tradisional yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara turun-temurun.”30

Pemahaman tentang perlindungan HKI

Perlindungan terhadap HKI khususnya di negara maju, seperti Eropa Barat bermula dari pemikiran hukum alam, khususnya, ide tentang the absolute ownership, yang diwarisi sistem. hukum Romawi.31 Perlindungan terhadap HKI dalam sistem hukum berkembang sebagai bagian dalam human right yang berawal di Inggris dalam Magna Charta. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi HAM se-Duna ditetapkan, "setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta.”32

Upaya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional Indonesia sampai saat ini masih belum jelas pengaturannya. Masih banyak masalah hukum yang berkenaan dengan "pencurian" pengetahuan tradisional. Indonesia oleh negara lain dengan mekanisme sistem HKI yang berlaku. sekarang. Kasus yang banyak muncul berkenaan dengan hal ini adalah masalah pematenan oleh negara lain terhadap komposisi produk obat-obatan maupun derivatifnya dengan komposisi yang khas Indonesia.33

Kasus lain yang juga menimpa negara berkembang adalah pematenan atas obat diabet yang didasarkan pada tanaman dari India. Kantor Paten AS telah memberikan paten pada sebuah perusahaan farmasi AS atas obat yang dibuat dari terong dan pare. Menurut pemerintah India, kedua tanaman tersebut sudah ribuan tahun digunakan untuk menyembuhkan diabetes di India dan sudah terdokumentasi dalam banyak teks tentang tanaman obat di India.34
Perlindungan HKI yang berkembang dewasa ini lebih memihak kepada negara maju yang lebih menekankan pada kepentingan individu. Hal ini bertentangan dengan "atmosfer pemikiran" masyarakat di negara berkembang yang lebih mengenal perlindungan HKI yang selalu diupayakan untuk tidak mengurangi kepentingan masyarakat.35 Filosofi perlindungan HKI adalah untuk mendorong kemajuan dan munculnya ide-ide baru dan menciptakan iklim yang kondusif bagi keuntungan penyebaran ide-ide tersebut. Dengan adanya perlindungan ini pencipta dan penemu akan mendapatkan penghargaan berupa finansial, sedangkan masyarakat akan menikmati serta mengembangkan hasil ciptaan yang diperoleh dari pemikiran intelektual tersebut.

Doktrin perlindungan hukum yang berkembang dewasa ini mengelompokkan HKI sebagai harta kekayaan tidak berwujud yang bersumber dari intelektual seseorang. Kepemilikan HKI harus dilindungi demi kepentingan pemiliknya yang sah.36 Ketentuan undang-undang HKI mengatur bahwa perlindungan HKI berlaku selama kurun waktu tertentu berdasarkan undang-undang. Teori yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad tentang perlindungan HKI adalah teori adaptasi. Menurut teori ini, ketentuan tentang substansi hukum HKI nasional disesuaikan dengan ketentuan substansi HKI yang diatur dalam konvensi internasional yang telah disepakati. Teori juga berpendapat bahwa ketentuan HKI dalam undang-undang nasional tidak boleh bertentangan atau melebihi ketentuan konvensi internasional.

Pemahaman tentang perlindungan HKI yang dimulai dari teori hukum alam bahwa HKI merupakan the absolute ownership merupakan konsep yang diadopsi dalam perlindungan HKI. Teori tentang kepemilikan mutlak dalam HKI inilah yang mendorong perlunya perlunya perlindungan HKI demi memajukan dan mengembangkan ide-ide dan inovasi baru dalam HKI. Perlindungan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional tentang HKI yang tunduk pada konvensi-konvensi internasional. Hal ini berbeda dengan karakter pengetahuan tradisional yang merupakan milik komunal dan tidak menitikberatkan pada hak ekonomi.
Penerapan sistem HKI dianggap belum cukup memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional yang ada di negara berkembang. Pengetahuan tradisional yang mencakup karya-karya seni dan teknik-teknik serta formula tradisional yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat dianggap sebagai aset yang bernilai ekonomis.

Sistem HKI biasanya dipilah menjadi dua kelas, yaitu hak cipta serta hak yang bersangkutan dengan hak cipta (neighboring right) dan hak milik industri seperti paten dan merek. Di Indonesia sendiri, hukum HKI membagi HKI ke dalam 7 (tujuh) kelas, yang diakomodir dalam undang-undang masing-masing, yaitu: Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Perlindungan Varietas Tanaman. Dari ketujuh undang-undang tersebut tidak ada yang memberikan pengaturan secara khusus tentang potensi HKI yang berasal dari pengetahuan tradisional, selain undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang perlindungan varietas tanaman.

Ketujuh undang-undang HKI dan perjanjian TRIPS dan konvensi internasional yang berkenaan dengan HKI dianggap belum cukup memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Konsep perlindungan HKI merupakan tarik menarik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang, sehingga harus dikaji lebih lanjut tentang konsep dan peran Pemerintah dalam perlindungannya.

Pemahaman tentang peran pemerintah dalam perlindungan hukum

Pemahaman tentang peran pemerintah dimulai dengan memberikan pengertian tentang pemerintah terlebih dahulu. Pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya berarti pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, provinsi, kota dan sebagainya.37 Istilah pemerintah dapat diklasifikasikan dalam pengertiannya yang sempit dan luas. Istilah pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh kekuasaan negara yaitu kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pengertian pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi kekuasaan eksekutif saja. Kata pemerintah dalam persepektif hukum administrasi negara sama dengan administrasi negara, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan sebutan bestuur.38

Hadjon menulis bahwa kepustakaan bahasa Belanda mengartikan administrasi dalam istilah administratief recht dengan administrare/ besturen yang mengandung pengertian fungsional dan institusional/ struktural. Fungsional bestuur berarti keseluruhan organ pemerintah. Lingkungan Bestuur adalah lingkungan di luar lingkungan regelgeving (pembentukan peraturan) dan rechtspraak (peradilan).39

Adanya kasus-kasus “pencurian” terhadap pengetahuan tradisional negara berkembang oleh negara maju tidak bisa serta-merta diarahkan pada adanya celah dalam sistem hukum HKI yang ada. Pemerintah sebagai pengatur (regulator) harus menjalankan fungsinya dalam memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional di Indonesia.

Peran pemerintah dalam pemahaman ini merupakan wujud pengembanan fungsi dan peran pemerintah yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan negara. Pemerintah dipahami sebagai organ yang menjalankan pemerintahan negara. Peran dan fungsi pemerintah ini timbul dari adanya wewenang yang melekat pada lembaga pemerintah sebagai alat negara. Wewenang ini timbul karena secara atributif diberi wewenang oleh undang-undang, atau merupakan wewenang delegatif.

Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional ini akan berkaitan dengan peran negara dalam mewujudkan cita hukum Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut:40
1. Negara melindungi senap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan;
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat;
3. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan;
4. Negara beradasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Cita perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia tersebut menurut Thomas Aquinas merupakan prinsip keadilan komulatif, yaitu member perlindungan kepada semua warga bangsa.41 Wujud peran pemerintah ini antara lain melalui diplomasi dalam setiap perjanjian internasional yang berkenaan dengan perlindungan HKI, perumusan kebijakan dan tindakan bagi setiap upaya “pencurian” khasanah kekayaan bangsa yang merupakan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

Bila dikaitkan dengan konsep tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya, maka hal ini telah diatur secara eksplisit dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah memberikan pengaturan yang sifatnya perlindungan (protection) dan promosi (promotion) terhadap kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, sistem perundang-undangan yang dibangun tidak selalu konsisten, koheren dan berkoresponden dengan semangat yang ada dalam UUDN RI Tahun 1945.

Membaca konstitusi sebuah negara tidak hanya berhenti pada teks yang tercantum dalam konstitusi negara tersebut. Harus ada telaah yang lebih mendalam dalam membacanya agar ditemukan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Tugas “melindungi” oleh negara terhadap rakyatnya merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 34. Berkaitan dengan hal tersebut Satjipto Rahadjo, mengkonsepsikan bahwa Negara hukum Indonesia sebagai negara yang peduli atau negara dengan kepedulian. Konsepsi tersebut sangat tepat karena Pasal 34 ayat (2) menegaskan bahwa sebagai jaminan konstitusional maka negara wajib mengembangkan kebijakan kesejahteraan yang bersifat "affirmative action" bagi kepentingan warga masyarakatnya.

Kebijakan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional ini akan tercermin dalam peraturan perundang-undangan tentang HKI yang di dalamnya mengatur tentang hal ini secara terpisah. Bahkan telah ada wacana tentang akan disusunnya RUU tentang Perlindungan atas Pengetahuan Tradisional untuk memberikan kejelasan tentang hakekat pengetahuan tradisional dan upaya perlindungannya, sehingga tidak hanya melindungi potensi ekonomi semata, tapi juga aspek sosialnya.

Perlindungan yang telah ada hanya sebatas perlindungan hak cipta pada folklor, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mengatur:
Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Formulasi (redaksi) pasal di atasan merupakan pemikiran yang progresif mengingat Indonesia memang kaya akan potensi ekspresi budaya yang menjadi hak bersama (hak komunal). Selain diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, pengetahuan tradisional Indonesia juga diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (selanjutnya disebut UU PVT), sepanjang mengenai perlindungan terhadap pemuliaan tanaman. Undang-undang yang terdiri dari 76 pasal ini merupakan undang-undang pertama yang melindungi intervensi di bidang varietas tanaman di Indonesia.42


1Istilah demokratis disini diartikan sebagai bentuk terakomodirnya kepentingan rakyat dalam penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada Alinea IV Pembukaan UUDNRI 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2Lihat Makalah Edi Suharto, Ph.D., Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos, Jurnal Depsos, 2006. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
3Dalam situs resmi WTO (www.wto.org) disebutkan tentang perlunya diadakan reviu terhadap Pasal 27.3(b), “which deals with patentability or non-patentability of plant and animal inventions, and the protection of plant varieties”
4Ida Susanti dan Bayu Seto (Editor), Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan tentang Hukum IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, h.1
5Paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan distorsi dan high cost economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. (dikutip dari wikipedia.com)
6Ha-Joon Chan & Irene Grabel, Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, Yogyakarta: INSISTPress, 2008, h.93 – diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris: Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual (Penerjemah: Muh. Gusti Zainal), London & New York, Zed Books, 2004.
7Lebih ekstrem, Thomas Hobbes mengistilahkan hal ini dengan homo homini lupus : manusia adalah serigala bagi sesamanya (walaupun saat itu istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai individu, bukan negara satu dengan negara lainnya). Bila keseimbangan hak antara negara maju dan negara berkembang tidak dijaga, maka ungkapan Thomas Hobbes tersebut akan menjadi kenyataan.
8Awal Oktober 2009 UNESCO telah mengakui seni batik—salah satu produk pengetahuan tradisional—sebagai common heritage asli Indonesia, setelah sebelumnya UNESCO mengakui keris dan wayang sebagai "milik Indonesia".
9Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Inetelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, h.13.
10Ibid
11Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, h.75.
12Aktor dalam perdagangan internasional sudah beranjak, dari yang semula hanya melibatkan “privat to privat (P to P)", menuju “Government to Government (G to G)”. Pemerintah yang menjalankan kegiatan perdata tentu memerlukan pembahasan khusus karena akan menyangkut hukum administrasi. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain tesis ini.
13Koran Media Indonesia edisi Rabu, 9 Desember 2009.
14Sampai saat ini, Pemerintah tengah merancang sebuah Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) untuk memberikan perlindungan. Opini yang berkembang mengarah pada pembentukan UU yang sui generis dalam artian tidak memasukkan pengaturan tentang TK dan EBT ke dalam perundang-undangan HKI yang telah ada.
15 Instansi yang terkait dalam masalah HaKI di Indonesia adalah Dirjen HaKI yang berada dalam naungan Departemen Hukum, Perundang-undangan dan HAM Republik Indonesia.
16 A. Zen Umar Purba, Sistem HaKI Nasional dan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada acara seminar nasional, Implementasi Undang-Undang Desain Industri dan Merek, diselenggarakan bekerjasama Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum Universitas Manado, Yayasan Klinik HaKI, JIII, APIC, Asosiasi Alumni JIII Indonesia, didukung oleh JPO dan Ditjen HaKI Departemen Kehakiman dan HAM, Manado, 18 Februari 2002. Diunduh dari situs www.dgip.go.id
17 Nomenklatur kelembagaan sebelum berganti menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
18(Garis bawah oleh penulis). Menurut penulis, misi ini akan erat kaitannya dengan maksimalisasi potensi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
19Kain Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk").
20Upacara adat “begawi” adalah upacara yang dilaksanakan pada acara adat yang biasanya merupakan hajat/acara besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Tari Cangget dan Tari Sembah adalah tarian adat yang digelar sebagai upacara penyambutan tamu.
21Satjipto Rahardjo, Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, Malang: Bayu Media Publishing, 2009, h. 59 – 60.
22Persetujuan Pembentukan Organisai Perdagangan Dunia (Agreement Establising the World Trade Organisation) telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Udang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Implikasinya, Indonesia harus melakukan harmonisasi dengan ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya.
23 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h.121.
24Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.174
25 WIPO didirikan oleh Konvensi WIPO pada tahun 1967 dengan mandat dari negara-negara anggota untuk mempromosikan perlindungan HKI di seluruh dunia melalui kerjasama antar negara dan melalui kerjasama dengan organisasi-organisasi internasional lainnya. Kantor pusatnya di Jenewa, Swiss. Direktur Jenderalnya sekarang adalah Francis Gurry.
26 Adrian Sutedi, loc. cit.
27Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, h.14.
28Ibid
29Adrian Sutedi, op. cit. h.172.
30 Ibid, h.15 – 16.
31 Trisno Raharjo, Kebijakan Legislatf dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, Yogyakarta: Pensil Komunika, 2006, h.17
32 Agus Triyanta, Hak Milik Intelektual dalam Pandangan Hukum Islam, Jumal Hukum No. 17 Vol. 8 Juni 2001, h. 33 – 36.
33Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, Jakarta: Indeks, 2008, hlm.35
34Hira Dege, Kasus Paten Atas Kehidupan di Dunia, tulisan diunduh dari situs http://www.cicods.org/index.php?act=database.detail&id=28
35Trisno Rahardjo, op. cit.
36Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Inetelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua, 2007, h.153.
37Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara: Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009, h.197.
38Ibid
39Phillipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, h.3
40Yoan Nursari Simanjuntak, Hak Desain Industri (Sebuah Realitas Hukum dan Sosial), Surabaya: Srikandi, 2005, h.214 – 215.
41 Ibid
42 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, h.188.
43 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ctk. Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, hlm. 73
44 Riza Noor Arfani, 2006, Makalah: Analisis Isi Sebagai Metodologi, Yogyakarta. Mengutip Siegfried Kracauer dalam buku bejudul The Challenge of Qualitative Content Analysis.